UU ITE
Adapun isi dari Undang-Undang tersebut seperti tertulis dibawah ini:
1. Pelanggaran Isi Situs Web
Pornografi
Pornografi merupakan pelanggaran paling banyak yang terjadi di dunia maya dengan menampilkan foto, cerita atau gambar bergerak yang tidak pantas untuk ditampilkan. Sementara itu, pelanggaran hak cipta sering terjadi baik pada situs web pribadi, komersial maupun akademisi berupa, memberikan fasilitas download gratis baik foto, lagu, softwere, film dan karya tulis dilindungi hak ciptanya. Selain itu, menampilkan gambar-gambar dilindungi hak cipta untuk latar belakang atau hiasan “web pages” dan merekayasa gambar atau foto orang lain tanpa izin, seperti banyak terjadi pada situs-situs porno.
Pelanggaran Hak Cipta
Pelanggaran hak cipta sering terjadi baik pada situs web pribadi maupun komersial. Contohnya, memberikan fasilitas download gratis baik foto, lagu, software, film dan karya tulis yang dilindungi hak ciptanya.
2. Kejahatan dalam Perdangangan Elektronik
Penipuan Online
Kejahatan dalam perdagangan secara elektronik (e-commerce) dalam bentuk, penipuan online, penipuan pemasaran berjenjang online dan penipuan kartu kredit. Menurut Cahyana, penipuan online ciri-cirinya harga produk yang banyak diminati sangat rendah, penjual tidak menyediakan nomor telepon, tidak ada respon terhadap pertanyaan melalui e-mail dan menjanjikan produk yang sedang tidak tersedia. Resiko terburuk bagi korban kejahatan ini adalah telah membayar namun tidak mendapat produk, atau produk yang didapat tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Ciri- ciri kejahatan ini : harga produk yang banyak dinikmati lebih rendah, penjual tidak menyediakan nomor telepon, tidak ada respon terhadap pertanyaan melalui email, menjanjikan produk yang sedang tidak tersedia.
Penipuan Pemasaran Berjenjang Online
Ciri-cirinya mencari keuntungan dari merekrut anggota dan menjual produk secara fiktif, dengan risiko bagi korban 98 persen investasi ini gagal atau rugi.
Penipuan Kartu Kredit
Ciri-cirinya terjadi biaya misterius pada penagihan kartu untuk produk atau layanan internet yang tidak pernah dipesan dengan resiko, korban perlu waktu untuk melunasi kreditnya.
3. Pelanggaran Lainnya
Recreational Hacker
Merupakan hacker tingkat pemula yang bertujuan hanya untuk menjebol suatu sistem dan menunjukkan kegagalan atau kurang andalnya sistem keamanan pada suatu perusahaan.
Cracker
Motivasinya antara lain untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan melakukan sabotase sampai pada penghancuran data.
Political Hacker
Merupakan aktivitas politik melalui suatu situs web untuk menempelkan pesan atau mendiskreditkan lawan.
Denial ofService Attack
Penyerangan dengan cara membanjiri data yang besar dan mengakibatkan akses ke suatu situs web menjadi sangat lambat atau berubah menjadi macet atau tidak bisa diakses sama sekali.
Viruses
Penyebaran sedikitnya 200 virus baru melalui internet dan biasanya disembunyikan dalam file atau e-mail yang akan di download atau melalui jaringan internet dan disket.
Pembajakan
Pembajakan perangkat lunak yang menghilangkan potensi pendapatan suatu perusahaan yang memproduksinya seperti, games, aplikasi bisnis dan hak cipta lainnya.
Fraud
Kegiatan manipulasi informasi khususnya tentang keuangan dengan target mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Contoh : pembuatan kartu telepon palsu.
Phising
Teknik mencari personal information berupa alamat e-mail dan nomor account dengan mengirimkan e-mail seolah-olah datang dari bank bersangkutan.
Perjudian
Perjudian bentuk kasino banyak beroperasi di internet yang memberi peluang bagi penjahat terorganisasi melakukan praktek pencucian uang dimana-mana.
Cyber Stalking
Merupakan segala bentuk kiriman e-mail yang tidak diinginkan penerimaannya dan termasuk tindakan pemaksaan.
Dengan adanya undang-undang tersebut maka pemilik sebuah karya tidak perlu khawatir lagi akan karyanya akan dibajak, akan tetapi hal tersebut juga tidak bisa menjamin kalau hasil karyanya dibajak akan tetapi dengan adanya undang-undang tersebut paling tidak bisa meminimalisir kegiatan pembajakan yang ada didunia maya/internet.
Artikel HAKI
HaKI, Pembajakan, dan Proses Belajar: Sebuah Renungan
Membicarakan
HaKI adalah hal yang rawan, terutama di Indonesia. Di negeri yang
digelari surga bagi pembajak oleh negara-negara maju, nampaknya
menegakkan HaKI adalah bagai menegakkan benang basah. Namun, itu
bukannya tidak pernah dilakukan. Pertengahan 80-an, diterapkan aturan
baru untuk hak cipta di bidang rekaman kaset musik (barat). Toh, sampai
sekarang mekanisme itu masih bekerja, meskipun pembajakan musik
bergerak ke arah yang lebih canggih, semacam CD dan Mp3. Belum lagi
kita membicarakan pembajakan VCD dan DVD meskipun telah diterapkan
aturan hak cipta di bidang ini juga. Nyatanya, peredaran VCD dan DVD
legal pun masih cukup lancar. Perbedaan sistem distribusi antara musik
dan film, yang mengharuskan film beredar minimum 6 bulan di layar
bioskop sebelum diedarkan dalam bentuk video/VCD/DVD, berbeda dengan
musik yang bisa langsung dinikmati fresh from the oven, selain
itu, harga VCD/DVD asli yang masih dirasa mahal (walau sebenarnya
relatif lebih murah apabila kita bandingkan dengan CD musik), serta
iklim perbioskopan nasional yang kian lesu, membuat konsumen lari ke
VCD/DVD bajakan yang lebih aktual menyajikan film-film terbaru.
Lalu
bagaimana dengan perangkat lunak komputer? Masalah ini sampai saat ini
belum terpecahkan dengan tuntas. Bahkan, konon, pengesahan
Undang-Undangnya di DPR masih terhambat, akibat perdebatan soal
penegakannya. Sebagian (besar) anggota DPR menyadari akibatnya jika ini
diterapkan secara 'saklek', mengingat tingkat pembajakan perangkat
lunak di Indonesia yang mencapai 89% (ketiga terbesar di dunia), maka
dikhawatirkan dunia teknologi informasi di Indonesia akan macet total,
mulai dari institusi pendidikan, instansi pemerintah dan perusahaan
swasta, sampai ke individu rumah tangga akan terkena dampaknya. Yang
lebih dikhawatirkan, penerapan UU Hak Cipta untuk perangkat lunak ini
akan membawa kita kembali ke zaman kegelapan informasi, karena hanya
pihak-pihak tertentu saja yang mampu memanfaatkan teknologi terbaru di
bidang komputer, belum lagi mengingat berapa banyak orang yang harus
dihukum karena membajak, sadar ataupun tidak, sehingga penjara-penjara
kita penuh semua (!). Berlebihan ? tidak juga, jika kita mencermati
lisensi yang tercantum di sebagian besar perangkat lunak yang kita
gunakan sehari-hari, definisi pembajakan sangatlah luas dan benar-benar
membatasi ruang gerak kita, walaupun kita sudah membeli perangkat lunak
asli, kita tidak boleh memperlakukannya semau kita. Kita tidak boleh
memasangnya di lebih dari satu perangkat komputer, menyewakannya
(rental), membuat salinan dan meminjamkannya, atau kalau mau lebih rumit
lagi, baca saja EULA atau License Agreement yang tercantum di setiap program yang kita instal (biasanya pada waktu instalasi pertama).
Terakhir,
dan ini mungkin tidak banyak disadari oleh para praktisi TI
(programer, analis sistem, administrator sistem, webmaster, dll),
seberapa pantas kita mencari makan dari hasil belajar kita dengan
mempergunakan software bajakan? Atau menghasilkan karya (program, situs
web) menggunakan program bajakan dan menjualnya secara komersial? Atau
mengabdikan diri kita dalam bidang pemrograman yang bergantung
sepenuhnya pada produk bajakan? (misal Visual Basic, Delphi, Visual C++,
Borland C++, Oracle, dsb). Terus terang, bagi penulis itu merupakan
ganjalan (atau lebih tepatnya pemaafan) untuk mempelajari bahasa
pemrograman tertentu. PEnulis taktu menjadi sangat bergantung pada
produk tertentu, meskipun (konon) banyak dicari. Sejauh ini penulis
mempelajari desain web (HTML, JavaScript) dan berniat mempelajari
pemrograman web (PHP, Perl, MySQL, Java) dan mengenai administrator
jaringan, yang banyak berbasiskan software open source dan tidak kalah
bagus pasarannya. Lebih jauh lagi, menyangkut pembelajaran dengan produk
fotokopi, dalam hal ini textbook kuliah. Konon, tidak apa-apa membuat kopian textbook, selama tidak dikomersialkan. Tapi bukankah Jer Basuki Mawa Bea ?
Penulis tidak ingin melanjutkan artikel ini dengan khotbah mengenai keunggulan software open source
karena harganya murah, bahkan nyaris gratis, handal, bebas dioprek,
dikopi, dibagi-bagi, dan dijamin halal. Penulis lebih menekankan pada
proses belajar, bahwa gagasan free software yang dipelopori
Richard Stallman dengan projek GNU-nya, yang pada akhirnya melahirkan
sistem yang kita kenal sebagai GNU/Linux, adalah karena pendapatnya
bahwa software seharusnya bebas dipelajari. Tekanan pada proses belajar
adalah titik berat gerakan free software, bahwa kebebasan untuk mendapatkan source code,
mengutak-atiknya, membagikannya pada orang lain, dan menyebarkannya ke
seluruh dunia adalah dijamin sepenuhnya. Dan bukankah itu akan membuat
proses belajar lebih menyenangkan? Kita tidak perlu pusing memikirkan
lisensi apa yang melekat pada software yang kita gunakan, yang kita
pelajari, bukan sekadar biaya yang harus kita keluarkan. Berbeda dengan
jargon open source yang lebih ditujukan untuk kepentingan bisnis, free software
menurut penulis lebih berorientasi pada pembelajaran, pada proses
menemukan kembali, menggabungkan atau memisahkan kode tertentu untuk
menghasilkan software baru. Dan semua itu dilakukan dengan satu
semangat, untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain. Di situlah inti
dari gerakan free software, yang kadang-kadang membuat bingung banyak
orang yang selama ini terbiasa memandang software hanya dari sisi
bisnis saja.
Di saat software dibuat untuk
dijual, maka tidak tersisa lagi semangat pembelajaran di situ. Banyak
vendor menyediakan versi akademik atau demo yang khusus digunakan di
kalangan pendidikan. Namun biasanya versi ini justru lebih terbatas
daripada versi komersialnya, baik dalam fasilitas, penggunaan, maupun
akses ke source code yang biasanya tidak ada atau dibatasi. Karena
tujuan vendor adalah untuk menjual versi komersialnya saat para
penggunanya beranjak ke dunia bisnis, maka mekanisme seperti ini
biasanya terasa kurang adil bagi user. Mereka dididik untuk bergantung
pada produk tertentu saja, bukan pada proses memanfaatkan teknologi
informasi itu untuk menyelesaikan masalah. Tentu saja, siapapun berhak
mencari makan dari bisnis perangkat lunak ini, hanya seberapa jauh
damapk penggunaan perangkat lunak ini mampu membuat manusia menjadi
lebih manusiawi, dalam arti mampu membuatnya berkembang dan belajar,
daripada sekadar memperbudak.